Lukisan Sepeda di Rumah pak Gunawan Setiawan

May 30, 2009
lukisan di rumah pak Gunawan Setiawan

lukisan di rumah pak Gunawan Setiawan

Sebuah tag foto yang mampir di facebook saya dari seorang teman. Foto diambil di rumah bapak Gunawan Setiawan, Kauman-Solo. Beliau memang salah satu juragan batik di Kampung Batik Kauman. Dulu memang saya pernah melihat dua sepeda milik keluarga Gunawan Setiawan sewaktu sepedaan dan mampir di rumah beliau, tapi seingat saya dua sepeda tersebut Humber. Tanpa tahu lebih lanjut ini gambar siapa. Dari lukisan atau foto ini bisa digambarkan bagaimana penampilan pemilik sepeda tersebut pada jamannya.

Kira-kira pada gambar tersebut sepeda apa ya? dan apa saja aksesorisnya yang nempel? Ehhmmm… bisa jadi sepeda ini masih ada…sambil membayangkan naik sepeda tersebut… Hehehehe…


NSU pak LILIK

May 30, 2009
pak lilik dan sepedanya

pak lilik dan sepedanya

samping

samping

close up

close up

no. seri di batang vertikal bawah sadel

no. seri di batang vertikal bawah sadel

aksesoris bel

aksesoris bel

lampu baterai

lampu baterai

chain case

chain case


From Solo with Sepeda Onthel

May 30, 2009

oleh : Cisilia Perwita Setyorini pada 30-01-2009

Melawan pemanasan global dengan sepeda onthel! Itulah salah satu niat mulia komunitas Sepeda Onthel Lawas Solo (SOLO), sebuah komunitas pencinta sepeda tua yang didirikan Agustus tahun lalu.
Bergabung dalam komunitas tersebut sedikit banyak memang bisa mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Apalagi jika ngonthel dijadikan kebiasaan sehari-hari, implikasinya cukup berarti dalam mengurangi suhu panas bumi.
Dalam rangka menyambut kunjungan Paguyuban Onthel Djokdja (Podjok) dan untuk mengakrabkan antaranggota, komunitas SOLO pada Sabtu-Minggu (24-25/1) lalu menggelar acara berkeliling Kota Solo dengan tak lupa berwisata kuliner.
Sekitar 150 komunitas pencinta sepeda kuno ngonthel menuju Kompleks Manahan menikmati sarapan sederhana dengan alunan musik siteran. Kemudian ke Taman Balekambang  Menikmati taman yang asri sembari memanggil menjangan di taman dengan sebutan Gazelle.

Perjalanan dilanjutkan ke Taman kota Monumen 45 Banjarsari yang semula adalah Villa Park Belanda yang terletak di dekat Stasiun Balapan Solo, Pasar Legi, Mangkunegaran, Kestalan dan Stabelan. Tempat yang sangat erat kaitan dalam perjalanan sejarah di Kota Bengawan.

Dari sekian onthelis (pengguna sepeda onthel) ada satu yang menjadi perhatian lantaran memodifikasi sepedanya dengan berbagai pernak-pernik yang kental dengan nilai tradisi. Dia bernama Ngamin asal Madiun. Di sepedanya tergantung beberapa klunthung sapi dan juga bel dor yang biasa ada pada dokar. “Sepeda saya modifikasi supaya kental dengan nilai etnik tradisinya,“ ucap Ngamin yang ngonthel dari Madiun sampai Solo selama 12 jam.

Sementara itu, Dian ABS, Ketua SOLO mengatakan tujuan dari dibentuknya komunitas ini salah satunya adalah untuk menyikapi global warming. “Juga untuk mengampanyekan sepeda di masyarakat, menikmati romantisme klangenan masa lalu.”

Dian menambahkan untuk menjadi anggota komunitas ini cukup mudah tidak harus memiliki sepeda onthel tetapi harus suka dengan sepeda onthel dan concern dengan budaya.

Sementara itu salah satu anggota SOLO menuturkan keinginannya masuk dalam komunitas ini lantaran kecintaannya pada sepeda onthel lawas. “Dari dulu memang suka dengan sepeda kebo. Karena nyaman, santai dan tidak terlalu cepat dan juga lebih bersahabat dengan lingkungan.” (Cisilia Perwita Setyorini)

 

 

sumber:

http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=32893

berita terkait:

http://podjok.com/index.php/2009/01/26/liputan-podjok-wisata-onthel-solo-2009/


Awal Pagi Pasar Legi, Solo

May 30, 2009

Satu pagi beberapa minggu lalu, sengaja saya berjalan-jalan blusukan pasar di belakang mangkunegaran. Pasar Legi, salah satu pasar yang secara pribadi cukup nyanthol di hati. Pasar tradisional memang buat saya sangat menarik, tempat publik yang juga berfungsi secara ekonomis sekaligus menjadi roh masyarakat. Pasar, yang bagi orang Jawa pada akhirnya memunculkan regulasi dalam berekonomi, disebut “pasaran” yang mengikuti urutan hari penanggalan Jawa Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi yang mana sesuai urutan tersebut masyarakat secara bergantian meramaikan beberapa pasar secara berurutan.

 pasar legi pagi hari sudah mulai berjajar parkir motor, becak, sepeda, mobil...

pasar legi pagi hari sudah mulai berjajar parkir motor, becak, sepeda, mobil...satu wadah banyak tawaran penggugah selera eeeehhhhmmm

Kembali ke Pasar Legi, pagi jajan pasar sangat mengelitik hasrat saya untuk melangkah segera memasuki area pasar. Dan berbagai tawaran sajian khas sempat melayangkan memori saya untuk kembali “pulang” ke kampung halaman, yang setiap paginya ibu saya menyempatkan ke pasar sekedar mencari camilan jajan pasar untuk saya sewaktu saya kembali ke rumah.

Pasar Legi, sangat menarik. Pasar ini memiliki pengaturan waktu yang unik, sehingga nyaris 24 jam pasar ini bisa hidup dengan pembagian yang meramaikan setiap sudutnya. apalagi sewaktu bulan puasa atau menjelang hari-hari besar. nyata-nyata menjadi pasar 24 jam di Solo.

bike to work 01

raleigh muda mulus yang kutemui di dalam pasar Legi, dengan transfer merk yang komplit, dan cat ori.

Hehehehe…lagi-lagi mata tidak bisa lepas dari yang namanya sepeda lawas. Ternyata “bike to work” sudah mendaging dan mendarah bagi ibu-ibu pedagang keliling yang pada pagi buta harus kulakan ke pasar-pasar tradisional, lalu mengusung dagangan mereka ke keranjang di boncengan belakang dan menjelang pagi ibu-ibu kartini ini berkeliling sepanjang jalan kampung untuk menawarkan berbagai kebutuhan dapur bagi ibu-ibu yang mungkin tidak sempat ke pasar atau karena rumah jauh dari pasar.

Anggapan pasar tradisional yang sepi karena mall saya rasa tidak akan mungkin. Karena masing-masing memiliki pangsa pasar dan target pasar yang tetap.

kartini-kartini bersepeda

kartini-kartini bersepeda, bike to work

ibu-ibu yang siap dengan sepedanya berkeliling menjajakan dagangan
ibu-ibu yang siap dengan sepedanya berkeliling menjajakan dagangan

Kembali ke sepeda….kembali ke pasar tradisional… Buat ibu-ibu yang tetap setia dengan sepedanya untuk bekerja dan senantiasa menggelindingkan roda emansipasi…”salut sekali dengan panjenengan-panjenengan…”. Seorang Amerika Susan B. Anthony yang berkata dalam New York World tanggal 2 Februari 1896: “Let me tell you what I think of bicycling. I think it has done more to emancipate women than anything else in the world. It gives women a feeling of freedom and self-reliance. I stand and rejoice every time I see a woman ride by on a wheel…the picture of free, untrammeled womanhood.